Kamis, 09 Juni 2011

JEJAK MASALAH PENDIDIKAN KIAN MENJAMUR bagian 1*



Bulan Mei identik dengan aksi sosial. Terbukti banyak peringatan dibulan ini, seperti hari buruh jatuh pada tanggal 1 Mei. Hari pendidikan jatuh pada tanggal 2 Mei, hari buku 17 Mei, hari kebangkitan nasional 20 Mei dan lain sebagainya. Sehingga tak heran dibulan ini banyak aksi dari aktivis yang terkain maupun dari mahasiswa.
Pendidikan disebut sebagai jalan utama untuk perbaikan peradaban suatu negara. Sebagai medan yang paling strategis pendidikan memegang kendali dibidang, ekonomi, budaya, kesejahteraan, kesehatan dan dibidang yang lain.Permasalahan yang berkembang di masyarakat selama ini adalah bagaimana mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan biaya merakyat. Bisa juga tergantung dengan kondisi pendapatan yang diterima, tidak sebanding dengan kebutuhan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pendidikan berkualitas namun masalah – masalah yang muncul belum diselesaikan secara tuntas. Permasalahan financial, permasalahan geografis, ekonomi dan kebijakan pendidikan yang dinilai belum efektif. Belum selesai satu masalah muncul masalah yang lain.Misalnya soal pengangguran yang semakin hari semakin menjadi.
Sasaran  20 % Dana APBN Belum Efektif
Kontroversi yang berkembang selama ini tidak membuat beberapa pihak terdiam melihat polemik pendidikan yang berkembang di masyarakat  dengan cepat. Pemerintah berusaha mengucurkan dana untuk pendidikan. Itupun setelah didemonstrasi mahasiwa dan aktivis pendidikan.  Akhirnya pemerintah menepati janjinya sesuai dengan undang – undang dan APBN. Anggaran pendidikan sebesar 20 %  sudah dikeluarkan meskipun masih banyak beberapa kendala dalam pelaksanaannya.
Selain itu kebijakan dana BOS masih membawa banyak problematika disana – sini. Padahal awalnya dianggap sebagai  solusi yang cukup untuk membantu perbaikan pendidikan di Nusantara.  Ternyata anggaran pendidikan,  baik dana BOS ataupun anggaran dana 20 % dari APBN masih belum dianggap ideal oleh masyarakat. Hasilnya bisa dilihat belum sepenuhnya menjadikan rakyat tersenyum lega. Hal ini menjadi sebab  pihak swatsa mengambil peran untuk membantu perbaikan kualitas pendidikan Indonesia.
Saat ini  pihak swasta mulai mengembang  sayap dengan membangun sarana pendidikan. Ada yang membentuk komunitas seperti PDI (Persatuan Dokter Indonesia), dan sekolah Qoryah Thayyibah di daerah Salatiga, Jawa Tengah.  Ada yang dikelola perusahaan sendiri, ada pula perusahaan yang bekerja sama dengan CSR untuk berkontribusi di bidang pendidikan, dan lain sebagianya.
Tak dipungkiri dana yang dibutuhkan juga sangat besar. Inilah yang kemudian memunculkan ungkapan kualitas pendidikan berbanding lurus dengan besarnya anggaran sebuah pendidikan. Karena faktor biaya mereka tidak bergantung kepada pemerintah sehingga dalam pelaksanaannya mereka survive dengan menawarkan kualitas.
Pemerintah sudah berupaya mengucurkan dana sebesar 20 % anggaran pendidikan dari APBN. Entah dalam bentuk format dana BOS atau yang lain. Nampak terlihat dimasyarakat pendidikan masih belum bisa dijangkau dengan mudah. Padahal masyarakat sadar bahwa perbaikan hidup bisa dimulai dari pendidikan.  
Ada faktor lain yang kemudian masyarakat menemukan kejanggalan terkait anggaran pendidikan 20 %,  tapi mereka tidak tahu harus mengadu ke siapa. Hanya sebatas mendengar ada anggaran pendidikan sudah cair sebanyak 20 %.  Begitu juga pemerintah pun sudah berupaya maksimal untuk mengatasi masalah ekonomi untuk kesejahteraan rakyat termasuk di bidang pendidikan. Lalu kepada siapa kejanggalan ini akan dipertanyakan, kepada siapa pula tanggung jawab gedung sekolah yang masih rusak.
Belum lagi tentang sarana pendukung pendidikan seperti perpustakaan sekolah di daerah pedalaman. Belum terasa geliatnya lalu siapa yang bertanggung jawab?. Dalam perjalanannya distribusi dan APBN untuk pendidikan sebesar 20 %  butuh pengawasan supaya tepat sasaran. Selain itu pemerintah harus selektif dalam mendata sekolah di daerah bahkan sampai pedalaman. Mengingat masih banyak persoalan pendidikan selain pendistribusian 20 % APBN untuk pendidikan
Putus Sekolah Karena Faktor Ekonomi
Fakta tentang Penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan.Bukan rahasia lagi. Berdasarkan kriteria pemerintah, penduduk  yang dikategorikan miskin jika berpenghasilan Rp6.000 per hari atau sekitar Rp 180.000 per bulan.  Kesimpulannya  penduduk miskin di Indonesia saat ini ada sekitar 43 juta atau 13 persen. Nasib  keluarga yang berpenghasilan Rp 180.000 terancam anaknya tidak mengenyam pendidikan.
Sedangkan berdasarkan data Bank Dunia kriteria penduduk miskin adalah jika berpenghasilan 3 dolar AS per hari atau Rp25.000 per hari atau Rp750.000 per bulan. Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih dari 100 juta jiwa. Bisa dikatakan kriteria pemerintah 4 kali lebih rendah dibanding standar Bank Dunia.  
Jika dikalkulasi lebih jauh SPP setiap bulan minimal Rp. 100.000  per bulan dengan pendapatan Rp. 750.000 perbulan atau Rp 180.000 tidak cukup untuk alokasi biaya pendidikan. Belum lagi   kebutuhan primer ( tempat tinggal, makan dan minum) setiap hari yang harus dipenuhi oleh setiap keluarga. Ini bertolak belakang dengan UUD 1945 dimana negara menjamin setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Delapan puluh persen menyatakan karena kesulitan ekonomi baik yang tidak punya dana untuk beli pakaian seragam, buku, transport atau kesulitan ekonomi yang mengharuskan mereka harus bekerja sehingga tidak mungkin bersekolah,” Keterangan dari  Wamendiknas di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional. (25/12/2010)
Faktor Ekonomi dan Geografis
Secara geografis bisa menjadi sebab terhambatnya akses pendidikan yang memadai. Ini berlaku untuk daerah tertentu.  Namun kondisi geografis akan lebih mudah diatasi jika kesadaran pendidikan muncul dari masyarakat. Misalnya melibatkan swadaya masyarakat ataupun dukungan penuh pemerintah/ swasta setempat.
Di tingkat golongan ekonomi menengah  atas mereka sudah mulai mencari pendidikan yang berkualitas. Berdasarkan fakta dilapangan para orang tua lebih banyak mencarikan sekolah yang anaknya merasa nyaman, meskipun sebagian ada juga anak yang sekolah pilihan orang tuanya.  Tawaran model pendidikan dari sekolah yang sudah bervariasi misalnya sekolah alam, home schooling, sekolah internasional, sekolah berstandar nasional, SDIT, dan pilihan lain yang bervariatif. Di sebuah sekolah di wilayah Jakarta rata- rata banyak yang memindahkan sekolah anaknya karena ada sekolah yang mampu menawarkan konsep pembelajaran yang menarik.
Sedangkan di golongan ekonomi kebawah mereka cenderung pasrah dengan model pendidikan yang diberikan pemerintah. Tidak memikirkan model kurikulum yang ditawarkan sekolah. Yang utama anak – anak mereka bisa mendapatkan pendidikan.
Banyak model sekolah beda visi dan beda misi. Fakta tahun 90-an banyak pengangguran dari lulusan sekolah menengah. Namun memasuki tahun 2000  angka pengangguran didominasi oleh lulusan sarjana. Apakah yang salah?
Tak layak bertanya siapakah yang bersalah. Sejatinya pilihan pendidikan sebagai model paling strategis untuk perbaikan bangsa. Jika dievaluasi lebih dalam saat di bangku sekolah apakah ilmu yang diserap 100%?. Tentu tidak. Seberapa aplikatifkah  ilmu yang didapat di bangku sekolah untuk dunia kerja?. Mungkin hanya beberapa saja.
Rata – rata fresh graduate bingung memasuki dunia kerja yang baru. Ini potret lapangan, faktanya banyak teori berhamburan di bangku pendidikan formal. Teori yang sudah dipelajari namun tanpa distimulus dengan pengembangan kreatifitas yang lebih riil maka sarjana fresh gradute merasa kaku untuk memasuki dunia kerja. Bagiamanapun dunia kerja membutuhkan skill dan soft skill  dalam bekerja.
Sebutlah Finlandia dengan negara yang mempunyai model pendidikan paling baik di dunia. Di negara ini pendidikan menjadi pusat dari pengembangan industry, ekonomi, kebudayaan dan kebijakan pemerintah. Maka akan sangat wajar jika negara ini mengambil pendidik  dari lulusan 5 perguruan tinggi terbaik di negara tersebut.
Jika ada pemetaan lebih terencana, bisa diminimalisir masalah pengangguran di negara ini. Apalagi jika semua  sumber daya manusia tersalurkan sesuai porsinya. Itu artinya masyarakat membutuhkan kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar