Kamis, 09 Juni 2011

berjuang untuk Anakku...(mom series )


“Eko….!” Aku panggil anakku satu - satunya. Tidak  ada jawaban. “Ko…tolong buka pintu sayang”. Tak ada jawaban. Aku ulangi sampai 3 kali. Awalnya berharap segera dibukakan pintu. Beban yang kubawa dari kebun sungguh sangat berat.
“Brakkk!” suara kayu yang kujatuhkan. Kayu yang kubawa kuturunkan dari gendonganku. Aku buka pintu rumah bagian belakang dengan kode kunci yang unik. Yaa.. dengan kayu dan sedikit gaya yang unik. Seunik pintunya, kayu. Siang ini begitu sangat panas. Ingin rasanya melihat anakku di rumah. Kasihan dia setiap hari tanpa teman di rumah.setiap hari dia harus mencari teman di luar rumah untuk bermain. “Nak…”  Oh dia memang tak ada di rumah.
Seluruh kamar sudah ku periksa tak menemukan gadis mungilku. Aku melangkah menuju depan pintu yang aku buka tadi. Bongkahan kayu bakar yang ku bawa ternyata sangat berat sampai – sampai aku tak sanggup untuk membawa yang kedua kalinya ke dalam rumah. Bukan karena kayunya, ternyata punggungku sudah sangat merah. Kata orang ini sudah lebih dari  kemampuan karena terlalu banyak membawa barang berat jadi punggungnya merah kehitam – hitaman. Kadang aku melihat ada kulit mengelupas. Meski saat mandi terasa perih aku menganggap ini sedekahku hari ini. Apa daya dapur tak mengepul tanpa kayu bakar.
Ditengah kesulitan ekonomi aku berprinsip tidak mau menjadi istri yang berpangku tangan kepada suami, membantu suami sebisaku dan mendidik anak gadis kesayanganku menjadi anak yang baik. Tak semua kebutuhan duniawi keluargaku terpenuhi tapi soal budipekerti dan agama aku harus memberikan seratus persen. Aku hanya wanita lulusan SD. Aku harus mendidik anakku hingga sarjana. Aku tak tahu ini akan terjadi atau tidak. Tuhan yang Maha tahu.
Lama aku hayati janjiku sejak aku menikah, ini butuh proses yang panjang. Tidak mudah memang tapi aku harus bisa melakukannya, karena aku adalah Ibu. Ibu yang berhasil mendidik anaknya ibu yang di cintai anaknya. Dan Ibu yang tidak menyesal karena salah mendidik ketika anaknya sudah besar. Jika melihat ekonomi aku merasa tak mampu tapi siapa yang bisa menghalangi rencana Tuhan. Setidaknya aku sudah menyampaikan pintaku kepada Tuhan dalam setiap malamku.
“Mak….Mak Eko?”. Lamunanku terpecah dengan suara dari depan. “Nggih..wonten nopo?” Aku lihat tetanggaku yang sedang lewat di depan pintu. “Nyuwun toyo nggih “. Aku jawab senyum dan menggangguk. Posisiku masih tidak berubah. Duduk di kursi pendek depan pawon
Kayu bakar yang kubawa kususun dalam pawon di dapur. Sore ini aku harus memasak makanan untuk suami dan anak – anakku. Aku kira istirahatku sudah cukup dengan minum air putih segelas. Setelah istirahat aku bersihkan badan sebelum memasak, kumulai dari membereskan seluruh rumah dan semua yang belum diletakkan pada tempatnya. Sudah beres. Kuputuskan untuk segera menyalakan kayu bakar untuk memasak. Sore ini tidak memasak nasi, memang nasi tadi pagi masih banyak.
Api sudah kunyalakan. Untunglah kayu bakarnya kering jadi cepat menyala. Rencananya hari ini aku mau masak gulai nangka. Dan panganan kecil kesukaan putriku. 1 jam kemudian “Hm……….” Harum bau gulai yang sudah kumasak semoga anak dan suamiku suka. Sekarang saatnya membuat makanan kecil untuk putriku.
Aku buka tempat bumbu tidak ada terigu dan tepung beras. Aku cari ketempat yang lain tak ku temukan juga. Pisang sudah ku iris mau tak mau aku harus beli tepung. “Ya Allah masih adakah uang untukku?” Aku berbicara sendiri. Sambil kuingat –ingat ada uang receh dimana..
Cek dan ricek semua tempat hanya berisi uang 1000- rupiah tak cukup untuk membeli tepung terigu dan tepung beras. Aku terdiam sejenak memikirkan solusinya. Sambil mengupas pisang. Kutemukan ide untuk pinjam uang anakku dulu. Besok ayahnya dapet uang dari jual getah. Tidak masalah jika hari ini pinjam besok dikembalikan.Tapi……………..aku masih berfikir lama untuk mengambilnya..
Tadi pagi Eko bilang “ Ini uangku ya Mak, mau di tabung biar banyak buat beli sepeda ya…”. Kata – kata anakku membuat aku enggan mengambilnya. Akhirnya kuputuskan pisang untuk dibuat kolak saja yang tanpa tepung bisa matang. Terlalu pusing sendiri akhirnya aku coba untuk memeriksa uangnya saja. Sore ini selesai dengan baik. “Alhamdulillah...akhirnya uang anakku masih utuh…”Dan ini menjadi bagian dari perjalanan setiap hari. Ujian untuk tidak mengambil tanpa izin meskipun anakku sendiri. Meskipun uang itu berasal dari sakuku.
Pekerjaan rumah sudah selesai tapi anakku tak kunjung pulang.Jam menunjjukkan pukul 16.00 seharusnya dia sudah rapi dan bersiap untuk belajar ngaji di TPA. Tanpa ragu segera saja aku rapikan semua yang ada didalam rumah. Nasi sudah,  ada sayur dan lauk sudah ada, api sudah padam dan tidak ada yang mengkahwatirkan. Rumah sudah rapi tinggal ambil kunci untuk keluar mencari anakku. “Crek..ckrek” Pintu sudah terkunci .
Doa tetap tidak terlupakan. Karena kepada siapa aku berharap. Ya hanya kepada Allah Tuhan yang menjadi pusat harapan. Aku susuri setiap jalan yang sering menjadi rute bermain anakku. Berputar – putar tidak menemukan. Namun ini sudah putaran ke 3 X  tidak ada. Tapi ada yang aneh di belakang pager rumah Bu bayan. Sambil tetap mencari dimanakah dia?
“Eko!”. Oh nggak ada jawaban. “Madosi sintenBu?” tanya Bu Bayan.” Eko…semerep mboten Bu?”sudah dicari kemana – mana nggak ada. Ini sudah jam 4 waktunya mandi dan ngaji sore” jawabku dengan santun kepada bu bayan. Aku segera melanjutkanperjalananku. Tapi kok bu bayan menarikku ke dekat rumahnya.
“ Bu…tadi, belum lama Eko kesini, beli cokelat batang di warung sini. Aku tanya “Eko, ini uang siapa uangnya besar sekali?. Dia diam saja bu…lalu aku tanya lagi. Sudah  ijin ibu belum bawa uang ini?. Ibu Bayan menjelaskan dengan tatapan meyakinkan. Dan aku hanya diam mendengarkan dengan seksama.
“Jawabnya apa Bu..? tanyaku.
“Sudah dapet izin dari Ibu kata Eko. Wah aku kaget bu….makanya aku bilang sama dia uang kembaliannya nanti. Maksudku supaya bisa memberikannya kepada Ibunya. Soalnya aku binggung ini ada anak kecil bawa uang lima puluh ribu. Aku semakin heran dengan rasa tidak percaya. Masak anakku melakukan tindakan yang tidak terpuji begitu?
“Trus?” Tanya ku kepada Bu Bayan. Dengan sigap Bu Bayan menjelaskan “Coba dech lihat kemungkinan Eko tidak jauh dari sini”.” Iya Bu terimakasih saya coba cari di belakang pagar rumput itu”. Aku  mulai berfikir negatif dan hampir tidak percaya anakku mengambil uang tabungan tanpa izin. Dia biasa minta izin sebelum mengambil. “Kok bisa ???” pertanyan di hati terus melontar. Tapi aku fikir ada benarnya buktinya dia bawa uang. Tak mungkin dia mencuri. Dia tahu mencuri tidak baik.
Penjelasan Bu Bayan sudah usai lalu dengan cepat kuayunkan kaki kearah pagar dan ternyata kutemukan anakku sedang menikmati jajan bersama temannya. Aku senyum saja melihatnya. Padahal aku lihat wajah anakku begitu ketakutan melihat aku datang dengan tiba – tiba di sela- sela asyikknya makan jajan. Buru buru diam sembunyikan makanan dibalik badannya.
Wajah anakku pucat pasi…dia sudah tidak sanggup berkata apa - apa. Aku masih diam dan dengan wajah yang biasa saja satu kalimat yang kuucap hanya kalimat mengajaknya pulang “ yuuk pulang…sudah sore”. Tanpa perlawanan anakku menurut begitu saja.
Tangan kanan anakku masih memegang jajan, tangan kiri kugandeng. Perjalanan kami begitu tenang hampir tidak ada suara. Ini memang sengaja ku lakukan. Kerena aku tahu marah itu tidak baik.  Mau  dilakukan di jalan, di rumah tetap hukumnya tidak baik. Jadi waktu yang tepat untukku adalah diam.
Jam sudah menunjjukkan pukul setengah lima. Sampai di rumah suami sudah pulang dan bersiap mau mengajar di TPA. “ Dari mana mak? “ Tanyanya.” Dari nyari Eko main. Tanganku masih menggenggam tangan Eko. Dan Eko diam saja seolah tidak mau ayahnya tahu apa yang dia lakukan. Aku dan Eko tak berbicara apapun. Eko masih diam saja. Mungkin merasa bersalah. Sedang aku sedang berfikir mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.
“ Eko mandi, ganti baju, sholat ashar, terus makan, habis makan bawa buku Iqra ya….Ibu tunggu di depan rumah sambil menikmati suasana sore”.Aku masih berusaha biasa saja seperti Eko tak melakukan kesalahan. Aku mengamati setiap yang dilakuan Eko di ruang tengah. Lagi dalam kondisi seperti ini kadang aku bersyukur anakku penurut. Dia mengerti yang baik dan yang buruk tapi masih labil. Ini pekerjaanku sebagai seorang ibu untuk meluruskan tindakan yang salah.
  Mandi, ganti baju, sholat berjalan dengan baik. Nah, saat makan sedikit beda. Biasa makan lebih banyak sekarang nampak lebih sedikit. Panganan yang berbau pisang biasa dia habiskan dengan cepat satu mangkuk kali ini dia hanya habis setengah. Yang kusimpulkan sementara dia masih takut dimarahi. Pelan – pelan dia melangkah mendekatiku..
Aku tersenyum sambil memeluknya…”Sini nak…..”. “Hm………….kaku banget ini anak ibu tubuhnya….yuk belajar ngaji dulu ya…. “ Eko hanya mengangguk saja. Matanya memang hampir jebol karena tak sanggup menahan air mata. Tapi aku berusaha tidak membicarakan itu dengannya.
Belajar Iqra disetiap sore sambil dongeng adalah model belajar yang mulai aku biasakan. Seperti konsepku diawal bahwa aku tidak pintar tapi anakku harus lebih pintar dari aku. Dan aku harus mengajarkan cara belajar sebisaku sejak kecil. Belajar lebih banyak. Itu saja rumusnya. jika di sekolah iqra sampai halaman 3 anakku harus lebih dahulu baca di rumah jadi di sekolah tinggal mengulang saja.
A, Ba, ta, Tsa sampai ya selesai. Akhirnya sampai juga pada waktu yang tepat menasehati kesalahan tanpa menghakimi. Aku mulai menceritkan sebuah kisah tentang binatang. Aku tidak pandai mendongeng tapi aku merangkai sendiri. Ku pikir asal muatan baik…tidak apa - apa. Kebetulan Eko menyukai dongeng.Cerita singkatnya Eko kemudian mengambil inti baik dari dongeng kemudian menimbang baik dan buruk dari yang dia lakukan. Dan akhirnya aku menawarkan solusi kepada Eko “ Bagaimana kalau uangnya di tabung di tiang bamboo. Jadi Eko bisa mendapatkan yang Eko mau saat uang terkumpul. Pembelajaran yang berharga di sini pentingnya bersabar dalam menabung kepada anak. Terbiasa meminta izin dengan baik jika melakukan sesuatu atau hendak pergi. 
Keinginanku besar kepada anaku satu – satunya ini, dia anak perempuan. Bagaimanapun  dia adalah calon ibu. Harus bisa mengatur uang. Sejauh yang aku lakukan adalah berusaha untuk tidak memarahinya. Jika ada masalah aku berusaha untuk mencari waktu yang tepat misalnya setelah dia makan. Jadi sudah kenyang baru dikasih masukan. Kalau melihat TV rasanya kasihan melihat anak – anak langsung dimarahi, padahal dia bisa jadi bingung mencari solusinya. Bisa juga sebenarnya bukan kemauan diri sendiri.
Aku lebih senang menasehati anak sesudah makan, kondisi perut sudah kenyang. Sehingga tidak khawatir anak kelaparan. Maksudnya kelaparan karena tidak nafsu makan setelah dimarahi. Dan ketika aku benar – benar sangat marah maka aku lebih banyak diam. Tidak bersuara apalagi kekerasan fisik. Efeknya akan panjang jika orang tua suka marah – marah saat anaknya kecil. Misalnya hari ini kita, orangtua masih bisa melukai fisiknya (secara undang-undang  sudah dilarang) tapi apakah dia tidak akan membalas yang lebih keras dari apa yang dilakukan orang tuanya  setelah dia dewasa?. Begitujuga dengan kata- kata atau omelan. Hari ini anak diam, tak berkutik, namun apakah anak tetap diam ketika dewasa? Bisa jadi melakukan yang lebih parah.
Aku ingin anakku senang bersyukur
Di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok dan persaingan hidup yang lebih tinggi, kadang untuk bersyukur terasa amat berat. Apalagi jika sudah berumah tangga. Aku tak segan memangkas kebutuhan tidak penting. Supaya anak tetap sekolah dengan baik. Saat Eko mau lulus SD. Aku sangat khawatir tidak akan sanggup membiayai sekolahnya.
Namun dengan tekad yang kuat Alhamdulillah tepenuhi sampai dia lulus SMP. Menjelang masuk SMA anakku memilih sekolah favorit dan ternyata nemnya Alhamdulillah masuk sepuluh besar paralel di SMP jadi berpeluang besar untuk bisa masuk SMA favorit. Perjuangan panjang mengawali hari – hari Eko sekolah. Pinjam sana – sini. Dan rencana merenovasi rumahpun sempat terhenti beberapa tahun hanya karena satu. Anakku bisa sarjana bisa lebih pintar dari pada ibu dan ayahnya.
Malu tetap aku rasakan bersama dengan suami. Dan aku dipercaya suami untuk mengatur semua keuangan keluarga. Alhamdulillah suami sepakat dengan visi awal mempunyai anak yang bisa mengangkat derajat orang tuanya. Sepanjang perjuangan aku dan suami, kadang aku merasa tak sanggup. Bagaimana tidak hari ini makan persediaan beras sudah habis. Dengan terpaksa demi cita – cita mempunyai anak yang berfikir maju akhirnya suami memutuskan untuk makan nasi jangung.
Setahun kami makan nasi jangung demi tercukupi kebutuhan hidup. Dan semua terlewati begitu saja. Syukur Alhamdulillah masih bisa makan. Anakku juga mengikuti cara hidup orang tuanya. Dongengku sejak kecil untukknya ternyata benar – benar masuk di hatinya. “ Jika bersyukur pasti betambah nikmatnya, jika bersabar pasti keinginan kita terkabul”
Aku amati anakku rajin berpuasa senin kamis, bahkan aku sempat memberinya uang yang jauh dibawah  uang saku  teman – temannya. Tetapi dia bisa mengaturnya. Aku tanya kepadanya yang waktu itu masih SMA. Anakku jawab dia ambil uang tabungannya. Lalu aku tanya “Kok punya uang tabungan dari mana?”  Dia menjawab dari “Kelebihan uang saku yang biasa aku berikan untuknya.” Subhaanallah Allah memberiku anak yang baik.
Sepanjang perjalanan pendidikan anakku banyak duka yang ku alami. Mulai dari ejekan tetangga. Semua Alhamdulillah terlewati….
Menjelang kuliah Aku dan suami tidak punya uang sama sekali. Anakku semangat untuk kuliah. Waktu itu anakku mengambil jalur kuliah yang di biayai negara. Dia mengambi STAN dan ikut SMPTN. Dia sangat semangat untuk belajar. Dan aku menyukainya. Aku merasa ditengah segala kekurangan Allah memberikan banyak kemudahan selagi banyak berusaha.
Setiap detik aku mohon kepada Allah diberikan yang terbaik untuk keluargaku. Tepat di bulan Juli 2004 anakku masuk Perguruan tinggi. Aku dan suami bersyukur anak di terima di PTN meskipun tidak di STAN seperti yang didambakan diawal. Tetapi aku yakin Allah punya cara yang lebih hebat.
Setelah pengumuman aku bingung harus bagaimana cari uang. Lalu dengan bimbang aku meminta izin kepada suami untuk pergi merantau ke Jakarta. Dengan berat suamiku mengizinkan. Izin yang kurang sempurna terlihat. Selama seminggu kami sekeluarga menangis sedih. Tidak tahu harus kemana untuk mendapatkan uang masuk kuliah anakku. Anakku pun menangis tanpa henti.Ibarat kata dia siap menyerah dan tidak kuliah.
Namun kami orang tua tak tega melihatnya. Cita – cita kami tinggal selangkah lagi. Suamiku kadang menangis dihadapanku meminta maaf. Tapi aku selalu bilang” Kamu tidak salah jadi tidakperlu meminta maaf”. Dan setelah itu pula air mata kami selalu tumpah.
Menjelang keberangkatan anakku ke Solo untuk melakukan pembayaran. Pertolongan Allah datang. Saudara dari Ibu suamiku datang dengan menyerahkan uang pinjaman. Sambil memberi nasehat kepada kami sekeluarga.
Tidak hanya sampai disini setelah anakku pergi kuliah. Aku dan suami seperti orang tidak sadar. Diam dan melamun di tempat kerja. Selama sebulan lamanya aku bersikap seperti ini. Namun aku tersadar bahwa posisiku sebagai istri harus menemani suami. Aku putuskan untuk tidak jadi merantau ke Jakarta.dan aku di rumah saja membatu pekerjaan suami.
Dengan perlahan aku memberi semangat sebagai suami untuk selalu bersyukur dengan banyaknya harapan yang terkabul. Tinggal sebentar lagi anakku jadi sarjana.
Selama anakku sekolah tak jarang kami tidak punya uang karena setelah ada uang langsung kami berikan untuk pembayaran ini dan itu. Anakku Alhamdulillah tidak banyak menuntut. Dia merasa cukup. Aku bilang padanya. “Bersyukur dan berdoa semoga Allah memberi kemudahan.” Dan akhirnya…tahun 2008 anakku lulus  sarjana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar