Kamis, 09 Juni 2011

JEJAK MASALAH PENDIDIKAN MENJAMUR* bagian 2

 
Polemik Oknum Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk perbaikan negara dan bangsa. Wajah pendidikan yang selalu berganti kebijakan dari kurikulum CBSA, kompetensi, KTSP dan lain sebagainya. Ini potret buram wajah pendidikan Indonesia. politisasi pendidikan sampai dengan kapitalisme pendidikan,secara otomatis ini hanya  menguntungkan beberapa pihak saja. Awalnya mungkin sepele dan dianggap tidak bermasalah namun ini membawa kerugian bagi kualitas pendidikan
Pertama, menobatkan pribadi menjadi pendidik karena terpaksa, bukan karena panggilan tetapi karena tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan. Padahal mendidik membutuhkan jiwa pendidik. Tidak harus sarjana pendidikan tetapi mempunyai jiwa pendidik. Pada dasarnya semua tugas dimulai dari hati.
Jika mendidik sudah panggilan hati maka ilmu  pendidikan akan mudah dipelajari dan dikembangkan di lapangan. Pendidik yang menjadikan profesi pendidikan sebagai loncatan,  pada akhirnya tidak fokus menangani permasalahan pendidikan karena hanya akan dijadikan sebagai batu loncatan untuk berpindah keprofesi yang lain.
Apa yang terjadi jika bukan ahli dibidangnya tapi mengajarkannya. Ini persoalan di tanah air. guru sosial mengajar sains  padahal tidak ada dasar sebelumnya. Alasan selalu klasik kekurangan tenaga pendidik. Mau apa lagi baik menjadi pendidik harus serba bisa dalam mengajar.
Bisa diprediksi jika ini tidak segera diselesaikan, maka karena keterbataan ilmu yang dimiliki atau ilmu yang disampaikan tidak tepat sasaran. Ingin lebih baik tapi menjadi  berlawanan dengan tujuan semula. Selain pendidik ada juga problem di penentu/pengambil kebijakan pendidikan.
Pengambil kebijakan pendidikan, ada yang tidak tahu lapangan pendidikan.Sekian banyak guru di Indonesia bisa dikatakan kurang dari 50 % yang memahami dengan cepat perubahan konsep pendidikan.  Melihat  permasalahan  pendidikan yang kompleks, konsep pendidikan yang adaptif dengan menyesuaikan  potensi wilayah mungkin akan lebih efektif dibanding dengan penyeragaman konsep pendidikan.
Kedua, kapitalisme pendidikan. Hitung berapa biaya masuk perguruan tinggi negeri atau biaya masuk sekolah swasta di kota besar. Bisa dibanyangkan dana yang cukup besar mengalir untuk pendidikan. Orang tua pun tidak merasa rugi karena jaminan mereka adalah masa depan yang lebih baik bagi anak – anak mereka.
Namun disisi lain pendidikan menjadi medan basah untuk meraup banyak keuntungan. Realita lapangan. Jumlah lembaga bimbingan belajar dn lembaga kursus  yang berhubungan dan minat dan bakat menjamur. Tidak mungkin mereka menyelenggarakan pendidikan tanpa uang. Belum lagi biaya masuk sekolah Playgroup. TK, SD, SMP, SMA swasta  biayany bisa berlipat lipat.
Ketiga, kebijakan evaluasi pendidikan hanya pergantian istilah.Ironis. Tujuan pendidikan adalah mencerdasakan anak bangsa namun beda dengan kejadian di lapangan tujuan pendidikan untuk meluluskan UN (Ujian Nasional). Pada prinsipnya ini sudah tidak benar. Sekolah dianggap berhasil apabila meluluskan 100 % siswanya dengan nilai memuaskan. Guru dianggap berkualitas dengan memberi pelajaran yang baik sehingga muridnya bisa lulus UN.
 Apa yang menjadi pertanyaan beberapa pengamat pendidikan tentang UN sekilas nampak mubazir. Belajar 3 tahun selesai dengan UN yang hanya beberapa hari saja. Orientasinya beda. Pendidikan yang sejati menjadikan pribadi berkualitas tidak terpaut dengan angka berbinar – binar . Namun orientasi sekarang ini belum sampai pada tahap berfikir yang tinggi.
Standarisasi evaluasi untuk pendidikan sampai saat ini hanya berputar – putar seputar nama padahal esensinya sama evaluasi. Daftar nama mulai dari Ujian Akhir, Ujian Kelulusan, EBTA, EBTANAS, UAN dan UN. Ini tidak jauh beda dengan ujian masuk perguruan tinggi. Ada Sipenmaru, USM, UMPTN, SNMPTN dan lain sebagainya. Sepertinya kebijakan pendidikan hanya berputar soal nama. Padahal substansi dunia pendidikan lebih dari itu. Peradaban dan kemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar