Polemik
Oknum Pendidikan
Pendidikan
bertujuan untuk perbaikan negara dan bangsa. Wajah pendidikan yang selalu
berganti kebijakan dari kurikulum CBSA, kompetensi, KTSP dan lain sebagainya.
Ini potret buram wajah pendidikan Indonesia. politisasi pendidikan sampai
dengan kapitalisme pendidikan,secara otomatis ini hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Awalnya
mungkin sepele dan dianggap tidak bermasalah namun ini membawa kerugian bagi
kualitas pendidikan
Pertama,
menobatkan pribadi menjadi pendidik karena terpaksa, bukan karena panggilan
tetapi karena tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan. Padahal mendidik
membutuhkan jiwa pendidik. Tidak harus sarjana pendidikan tetapi mempunyai jiwa
pendidik. Pada dasarnya semua tugas dimulai dari hati.
Jika
mendidik sudah panggilan hati maka ilmu
pendidikan akan mudah dipelajari dan dikembangkan di lapangan. Pendidik
yang menjadikan profesi pendidikan sebagai loncatan, pada akhirnya tidak fokus menangani
permasalahan pendidikan karena hanya akan dijadikan sebagai batu loncatan untuk
berpindah keprofesi yang lain.
Apa
yang terjadi jika bukan ahli dibidangnya tapi mengajarkannya. Ini persoalan di
tanah air. guru sosial mengajar sains
padahal tidak ada dasar sebelumnya. Alasan selalu klasik kekurangan tenaga
pendidik. Mau apa lagi baik menjadi pendidik harus serba bisa dalam mengajar.
Bisa
diprediksi jika ini tidak segera diselesaikan, maka karena keterbataan ilmu
yang dimiliki atau ilmu yang disampaikan tidak tepat sasaran. Ingin lebih baik
tapi menjadi berlawanan dengan tujuan
semula. Selain pendidik ada juga problem di penentu/pengambil kebijakan
pendidikan.
Pengambil
kebijakan pendidikan, ada yang tidak tahu lapangan pendidikan.Sekian banyak
guru di Indonesia bisa dikatakan kurang dari 50 % yang memahami dengan cepat
perubahan konsep pendidikan.
Melihat permasalahan pendidikan yang kompleks, konsep pendidikan
yang adaptif dengan menyesuaikan potensi
wilayah mungkin akan lebih efektif dibanding dengan penyeragaman konsep
pendidikan.
Kedua,
kapitalisme pendidikan. Hitung berapa biaya masuk perguruan tinggi negeri atau
biaya masuk sekolah swasta di kota besar. Bisa dibanyangkan dana yang cukup
besar mengalir untuk pendidikan. Orang tua pun tidak merasa rugi karena jaminan
mereka adalah masa depan yang lebih baik bagi anak – anak mereka.
Namun
disisi lain pendidikan menjadi medan basah untuk meraup banyak keuntungan.
Realita lapangan. Jumlah lembaga bimbingan belajar dn lembaga kursus yang berhubungan dan minat dan bakat
menjamur. Tidak mungkin mereka menyelenggarakan pendidikan tanpa uang. Belum
lagi biaya masuk sekolah Playgroup. TK, SD, SMP, SMA swasta biayany bisa berlipat lipat.
Ketiga,
kebijakan evaluasi pendidikan hanya pergantian istilah.Ironis. Tujuan
pendidikan adalah mencerdasakan anak bangsa namun beda dengan kejadian di
lapangan tujuan pendidikan untuk meluluskan UN (Ujian Nasional). Pada
prinsipnya ini sudah tidak benar. Sekolah dianggap berhasil apabila meluluskan
100 % siswanya dengan nilai memuaskan. Guru dianggap berkualitas dengan memberi
pelajaran yang baik sehingga muridnya bisa lulus UN.
Apa yang menjadi pertanyaan beberapa pengamat
pendidikan tentang UN sekilas nampak mubazir. Belajar 3 tahun selesai dengan UN
yang hanya beberapa hari saja. Orientasinya beda. Pendidikan yang sejati
menjadikan pribadi berkualitas tidak terpaut dengan angka berbinar – binar .
Namun orientasi sekarang ini belum sampai pada tahap berfikir yang tinggi.
Standarisasi
evaluasi untuk pendidikan sampai saat ini hanya berputar – putar seputar nama
padahal esensinya sama evaluasi. Daftar nama mulai dari Ujian Akhir, Ujian
Kelulusan, EBTA, EBTANAS, UAN dan UN. Ini tidak jauh beda dengan ujian masuk
perguruan tinggi. Ada Sipenmaru, USM, UMPTN, SNMPTN dan lain sebagainya.
Sepertinya kebijakan pendidikan hanya berputar soal nama. Padahal substansi
dunia pendidikan lebih dari itu. Peradaban dan kemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar