Sinergisitas
Jurusan Pendidikan dengan Dunia Kerja
Seorang
sarjana jurusan ekonomi setelah lulus
kuliah menapaki dunia yang baru dunia kerja dengan pengalaman dia yang ada di
kampus maka dia meniatkan untuk memasukkan surat lamaran ke perusahaan ternama.
Secara kemampuan akademis dia merasa cukup dan skill yang dia punya sesuai
dengan kebutuhan perusahaan. Alhasil sarjana ini diterima menjadi karyawan di
perusahaan yang dia harapkan. Ini sekilas kisah tentang lulusan sarjana.
Orientasi sarjana setelah lulus mencari kerja ini sudah menjadi fenomena. Ini
bukanmasalah prinsip yang kemudian menjadi acuan baku. Namun didunia lain tidak
semua semulus sarjana ini.
Contoh
lain yang disinggung oleh Bob Sadino seorang pengusaha di Jakarta, beliau
menjelaskan potensi sarjana pertanian di Indonesia terbuka luas namun berapa
persen sarjana pertanian yang fokus di bidang pertanian. Demikian juga bidang –
bidang yang lain. Indonesia kaya akan alam tapi penduduk asing yang
memanfaatkan secara optimal.
Di
lapangan yang paling cocok adalah pendidikan kedokteran. Awalnya belajar di
kedokteran, setelah lulus jadi dokter. Sedang profesi yang lain banyak
ditemukan lintas bidang. Data riil tentang kebutuhan SDM di lapangan/ dunia
kerja tidak dimiliki oleh pemerintah sehingga kebijakan yang diterapkan adalah
menciptakan SDM sebanyak – banyaknya tanpa proyeksi yang jelas setelah lulus
menjadi sarjana.
Berbeda
dengan lembaga pendidikan Negara seperti
STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistika),
IPDN dan yang lain menjadi salah satu
solusi yang baik untuk proyeksi pekerjaan. Meski tidak dipungkiri masih
butuh lebih banyak lagi SDM dunia kerja yang lain. Setidaknya ada kejelasan
tahun sekian membutuhkan jenis X dengan jumlah SDM sekian orang.
Selama
ini sekolah bisnis mencetak lebih banyak
mencetak calon karyawan dibanding mencetak calon pengusaha. Sekolah bisnis
menerapkan kebijakan yang sama dengan sekolah yang lain. Jika tarafnya perguruan
tinggi tingkat sarjana maka tugas akhirnya hanya skripsi. Seharusnya ada
kebijakan yang berbeda dengan sekolah non bisnis.
Biro
pusat statistik di Indonesia belum pernah mensosialisasikan jumlah SDM yang dibutuhkan untuk tahun 2050
untuk perusahaan “X” kemudian ditindaklanjuti perguruan tinggi dengan menjalin
komunikasi dengan perusahaan. Contoh : Kriteria apakah yang harus dimiliki oleh
SDM di perusahaan “X” sehingga perguruan tinggi mampu mengajarkan skill dan
soft skill yang dibutuhkan dilapangan.
Pendidikan
Mencerdaskan tapi Membodohkan
Ini
hanya sekedar kiasan karena tidak mungkin pendidikan semakin maju sedangkan
kemiskinan terus meraja lela. Ironis.Berlembar – lembar masalah sosial di bahas
di kursi dewan yang semua adalah kaum interlektual.Tidak hanya anggota dewan
yang turut mengatasi masalah sosial dan pendidikan bahkan swasta pun bergerak
untuk terjun mengatasi masalah ini. Semua pihak berhak andil dalam masalah ini.
Model
kurikulum Indonesia padat namun belum mencerdaskan. Terbukti waktu anak – anak
belajar habis untuk mengerjakan berlembar – lembar soal di kertas. Setelah
lulus sekolah sudah selesai belajarnya. Semua diakhiri dengan mudah.Belajar
hanya sebatas di sekolah. Seharusnya ada format pendidikan yang lebih layak
ditawarkan kepada masyarakat.
Menganggap
anak pintar hanya dari tes psikolog atau tes IQ. Salah kaprah pendidikan
Indonesia dimulai dari sini. Kurangnya pengetahuan bahwa anak yang pinter
pelajaran A pasti pinter di pelajaran B. Padahal tidak. IQ bukan ukuran pintar
atau cerdas untuk anak normal.seperti yang diungkapkan Gadner, bahawa anak yang
cerdas adalah salah satunya mereka ahli dibidang tertentu yang menjadi fokusnya
seperti interpersonal. intrapersonal, naturalis, logis matematis, visual
spatial, motorik kineststis,dan bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar