Kamis, 09 Juni 2011

JEJAK MASALAH PENDIDIKAN MENJAMUR* bagian 3


Sinergisitas Jurusan Pendidikan dengan Dunia Kerja
Seorang sarjana jurusan ekonomi  setelah lulus kuliah menapaki dunia yang baru dunia kerja dengan pengalaman dia yang ada di kampus maka dia meniatkan untuk memasukkan surat lamaran ke perusahaan ternama. Secara kemampuan akademis dia merasa cukup dan skill yang dia punya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Alhasil sarjana ini diterima menjadi karyawan di perusahaan yang dia harapkan. Ini sekilas kisah tentang lulusan sarjana. Orientasi sarjana setelah lulus mencari kerja ini sudah menjadi fenomena. Ini bukanmasalah prinsip yang kemudian menjadi acuan baku. Namun didunia lain tidak semua semulus sarjana ini.
Contoh lain yang disinggung oleh Bob Sadino seorang pengusaha di Jakarta, beliau menjelaskan potensi sarjana pertanian di Indonesia terbuka luas namun berapa persen sarjana pertanian yang fokus di bidang pertanian. Demikian juga bidang – bidang yang lain. Indonesia kaya akan alam tapi penduduk asing yang memanfaatkan secara optimal.
Di lapangan yang paling cocok adalah pendidikan kedokteran. Awalnya belajar di kedokteran, setelah lulus jadi dokter. Sedang profesi yang lain banyak ditemukan lintas bidang. Data riil tentang kebutuhan SDM di lapangan/ dunia kerja tidak dimiliki oleh pemerintah sehingga kebijakan yang diterapkan adalah menciptakan SDM sebanyak – banyaknya tanpa proyeksi yang jelas setelah lulus menjadi sarjana.
Berbeda dengan lembaga pendidikan  Negara seperti STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistika), IPDN dan yang lain menjadi salah satu  solusi yang baik untuk proyeksi pekerjaan. Meski tidak dipungkiri masih butuh lebih banyak lagi SDM dunia kerja yang lain. Setidaknya ada kejelasan tahun sekian membutuhkan jenis X dengan jumlah SDM sekian orang.
Selama ini  sekolah bisnis mencetak lebih banyak mencetak calon karyawan dibanding mencetak calon pengusaha. Sekolah bisnis menerapkan kebijakan yang sama dengan sekolah yang lain. Jika tarafnya perguruan tinggi tingkat sarjana maka tugas akhirnya hanya skripsi. Seharusnya ada kebijakan yang berbeda dengan sekolah non bisnis.
Biro pusat statistik di Indonesia belum pernah mensosialisasikan  jumlah SDM yang dibutuhkan untuk tahun 2050 untuk perusahaan “X” kemudian ditindaklanjuti perguruan tinggi dengan menjalin komunikasi dengan perusahaan. Contoh : Kriteria apakah yang harus dimiliki oleh SDM di perusahaan “X” sehingga perguruan tinggi mampu mengajarkan skill dan soft skill yang dibutuhkan dilapangan.
Pendidikan Mencerdaskan tapi Membodohkan
Ini hanya sekedar kiasan karena tidak mungkin pendidikan semakin maju sedangkan kemiskinan terus meraja lela. Ironis.Berlembar – lembar masalah sosial di bahas di kursi dewan yang semua adalah kaum interlektual.Tidak hanya anggota dewan yang turut mengatasi masalah sosial dan pendidikan bahkan swasta pun bergerak untuk terjun mengatasi masalah ini. Semua pihak berhak andil dalam masalah ini.
Model kurikulum Indonesia padat namun belum mencerdaskan. Terbukti waktu anak – anak belajar habis untuk mengerjakan berlembar – lembar soal di kertas. Setelah lulus sekolah sudah selesai belajarnya. Semua diakhiri dengan mudah.Belajar hanya sebatas di sekolah. Seharusnya ada format pendidikan yang lebih layak ditawarkan kepada masyarakat.
Menganggap anak pintar hanya dari tes psikolog atau tes IQ. Salah kaprah pendidikan Indonesia dimulai dari sini. Kurangnya pengetahuan bahwa anak yang pinter pelajaran A pasti pinter di pelajaran B. Padahal tidak. IQ bukan ukuran pintar atau cerdas untuk anak normal.seperti yang diungkapkan Gadner, bahawa anak yang cerdas adalah salah satunya mereka ahli dibidang tertentu yang menjadi fokusnya seperti interpersonal. intrapersonal, naturalis, logis matematis, visual spatial, motorik kineststis,dan bahasa 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar