“Eko….!”
Aku panggil anakku satu - satunya. Tidak ada jawaban. “Ko…tolong buka pintu sayang”.
Tak ada jawaban. Aku ulangi sampai 3 kali. Awalnya berharap segera dibukakan
pintu. Beban yang kubawa dari kebun sungguh sangat berat.
“Brakkk!”
suara kayu yang kujatuhkan. Kayu yang kubawa kuturunkan dari gendonganku. Aku
buka pintu rumah bagian belakang dengan kode kunci yang unik. Yaa.. dengan kayu
dan sedikit gaya yang unik. Seunik pintunya, kayu. Siang ini begitu sangat
panas. Ingin rasanya melihat anakku di rumah. Kasihan dia setiap hari tanpa
teman di rumah.setiap hari dia harus mencari teman di luar rumah untuk bermain.
“Nak…” Oh dia memang tak ada di rumah.
Seluruh
kamar sudah ku periksa tak menemukan gadis mungilku. Aku melangkah menuju depan
pintu yang aku buka tadi. Bongkahan kayu bakar yang ku bawa ternyata sangat
berat sampai – sampai aku tak sanggup untuk membawa yang kedua kalinya ke dalam
rumah. Bukan karena kayunya, ternyata punggungku sudah sangat merah. Kata orang
ini sudah lebih dari kemampuan karena
terlalu banyak membawa barang berat jadi punggungnya merah kehitam – hitaman.
Kadang aku melihat ada kulit mengelupas. Meski saat mandi terasa perih aku
menganggap ini sedekahku hari ini. Apa daya dapur tak mengepul tanpa kayu
bakar.
Ditengah
kesulitan ekonomi aku berprinsip tidak mau menjadi istri yang berpangku tangan
kepada suami, membantu suami sebisaku dan mendidik anak gadis kesayanganku
menjadi anak yang baik. Tak semua kebutuhan duniawi keluargaku terpenuhi tapi
soal budipekerti dan agama aku harus memberikan seratus persen. Aku hanya
wanita lulusan SD. Aku harus mendidik anakku hingga sarjana. Aku tak tahu ini
akan terjadi atau tidak. Tuhan yang Maha tahu.
Lama
aku hayati janjiku sejak aku menikah, ini butuh proses yang panjang. Tidak
mudah memang tapi aku harus bisa melakukannya, karena aku adalah Ibu. Ibu yang
berhasil mendidik anaknya ibu yang di cintai anaknya. Dan Ibu yang tidak
menyesal karena salah mendidik ketika anaknya sudah besar. Jika melihat ekonomi
aku merasa tak mampu tapi siapa yang bisa menghalangi rencana Tuhan. Setidaknya
aku sudah menyampaikan pintaku kepada Tuhan dalam setiap malamku.
“Mak….Mak
Eko?”. Lamunanku terpecah dengan suara dari depan. “Nggih..wonten nopo?”
Aku lihat tetanggaku yang sedang lewat di depan pintu. “Nyuwun toyo nggih
“. Aku jawab senyum dan menggangguk. Posisiku masih tidak berubah. Duduk di
kursi pendek depan pawon
Kayu
bakar yang kubawa kususun dalam pawon di dapur. Sore ini aku harus memasak
makanan untuk suami dan anak – anakku. Aku kira istirahatku sudah cukup dengan
minum air putih segelas. Setelah istirahat aku bersihkan badan sebelum memasak,
kumulai dari membereskan seluruh rumah dan semua yang belum diletakkan pada tempatnya.
Sudah beres. Kuputuskan untuk segera menyalakan kayu bakar untuk memasak. Sore
ini tidak memasak nasi, memang nasi tadi pagi masih banyak.
Api
sudah kunyalakan. Untunglah kayu bakarnya kering jadi cepat menyala. Rencananya
hari ini aku mau masak gulai nangka. Dan panganan kecil kesukaan putriku. 1 jam
kemudian “Hm……….” Harum bau gulai yang sudah kumasak semoga anak dan suamiku
suka. Sekarang saatnya membuat makanan kecil untuk putriku.
Aku
buka tempat bumbu tidak ada terigu dan tepung beras. Aku cari ketempat yang
lain tak ku temukan juga. Pisang sudah ku iris mau tak mau aku harus beli
tepung. “Ya Allah masih adakah uang untukku?” Aku berbicara sendiri. Sambil
kuingat –ingat ada uang receh dimana..
Cek
dan ricek semua tempat hanya berisi uang 1000- rupiah tak cukup untuk membeli
tepung terigu dan tepung beras. Aku terdiam sejenak memikirkan solusinya.
Sambil mengupas pisang. Kutemukan ide untuk pinjam uang anakku dulu. Besok
ayahnya dapet uang dari jual getah. Tidak masalah jika hari ini pinjam besok
dikembalikan.Tapi……………..aku masih berfikir lama untuk mengambilnya..
Tadi
pagi Eko bilang “ Ini uangku ya Mak, mau di tabung biar banyak buat beli sepeda
ya…”. Kata – kata anakku membuat aku enggan mengambilnya. Akhirnya kuputuskan
pisang untuk dibuat kolak saja yang tanpa tepung bisa matang. Terlalu pusing
sendiri akhirnya aku coba untuk memeriksa uangnya saja. Sore ini selesai dengan
baik. “Alhamdulillah...akhirnya uang anakku masih utuh…”Dan ini menjadi bagian
dari perjalanan setiap hari. Ujian untuk tidak mengambil tanpa izin meskipun
anakku sendiri. Meskipun uang itu berasal dari sakuku.
Pekerjaan
rumah sudah selesai tapi anakku tak kunjung pulang.Jam menunjjukkan pukul 16.00
seharusnya dia sudah rapi dan bersiap untuk belajar ngaji di TPA. Tanpa ragu
segera saja aku rapikan semua yang ada didalam rumah. Nasi sudah, ada sayur dan lauk sudah ada, api sudah padam
dan tidak ada yang mengkahwatirkan. Rumah sudah rapi tinggal ambil kunci untuk
keluar mencari anakku. “Crek..ckrek” Pintu sudah terkunci .
Doa
tetap tidak terlupakan. Karena kepada siapa aku berharap. Ya hanya kepada Allah
Tuhan yang menjadi pusat harapan. Aku susuri setiap jalan yang sering menjadi
rute bermain anakku. Berputar – putar tidak menemukan. Namun ini sudah putaran
ke 3 X tidak ada. Tapi ada yang aneh di
belakang pager rumah Bu bayan. Sambil tetap mencari dimanakah dia?
“Eko!”.
Oh nggak ada jawaban. “Madosi sintenBu?” tanya Bu Bayan.” Eko…semerep
mboten Bu?”sudah dicari kemana – mana nggak ada. Ini sudah jam 4 waktunya
mandi dan ngaji sore” jawabku dengan santun kepada bu bayan. Aku segera
melanjutkanperjalananku. Tapi kok bu bayan menarikku ke dekat rumahnya.
“
Bu…tadi, belum lama Eko kesini, beli cokelat batang di warung sini. Aku tanya “Eko,
ini uang siapa uangnya besar sekali?. Dia diam saja bu…lalu aku tanya lagi.
Sudah ijin ibu belum bawa uang ini?. Ibu
Bayan menjelaskan dengan tatapan meyakinkan. Dan aku hanya diam mendengarkan
dengan seksama.
“Jawabnya
apa Bu..? tanyaku.
“Sudah
dapet izin dari Ibu kata Eko. Wah aku kaget bu….makanya aku bilang sama dia
uang kembaliannya nanti. Maksudku supaya bisa memberikannya kepada Ibunya.
Soalnya aku binggung ini ada anak kecil bawa uang lima puluh ribu. Aku semakin
heran dengan rasa tidak percaya. Masak anakku melakukan tindakan yang tidak
terpuji begitu?
“Trus?”
Tanya ku kepada Bu Bayan. Dengan sigap Bu Bayan menjelaskan “Coba dech lihat
kemungkinan Eko tidak jauh dari sini”.” Iya Bu terimakasih saya coba cari di
belakang pagar rumput itu”. Aku mulai
berfikir negatif dan hampir tidak percaya anakku mengambil uang tabungan tanpa
izin. Dia biasa minta izin sebelum mengambil. “Kok bisa ???” pertanyan di hati
terus melontar. Tapi aku fikir ada benarnya buktinya dia bawa uang. Tak mungkin
dia mencuri. Dia tahu mencuri tidak baik.
Penjelasan
Bu Bayan sudah usai lalu dengan cepat kuayunkan kaki kearah pagar dan ternyata
kutemukan anakku sedang menikmati jajan bersama temannya. Aku senyum saja
melihatnya. Padahal aku lihat wajah anakku begitu ketakutan melihat aku datang
dengan tiba – tiba di sela- sela asyikknya makan jajan. Buru buru diam
sembunyikan makanan dibalik badannya.
Wajah
anakku pucat pasi…dia sudah tidak sanggup berkata apa - apa. Aku masih diam dan
dengan wajah yang biasa saja satu kalimat yang kuucap hanya kalimat mengajaknya
pulang “ yuuk pulang…sudah sore”. Tanpa perlawanan anakku menurut begitu saja.
Tangan
kanan anakku masih memegang jajan, tangan kiri kugandeng. Perjalanan kami
begitu tenang hampir tidak ada suara. Ini memang sengaja ku lakukan. Kerena aku
tahu marah itu tidak baik. Mau dilakukan di jalan, di rumah tetap hukumnya
tidak baik. Jadi waktu yang tepat untukku adalah diam.
Jam
sudah menunjjukkan pukul setengah lima. Sampai di rumah suami sudah pulang dan
bersiap mau mengajar di TPA. “ Dari mana mak? “ Tanyanya.” Dari nyari Eko main.
Tanganku masih menggenggam tangan Eko. Dan Eko diam saja seolah tidak mau
ayahnya tahu apa yang dia lakukan. Aku dan Eko tak berbicara apapun. Eko masih
diam saja. Mungkin merasa bersalah. Sedang aku sedang berfikir mencari cara
yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.
“ Eko
mandi, ganti baju, sholat ashar, terus makan, habis makan bawa buku Iqra
ya….Ibu tunggu di depan rumah sambil menikmati suasana sore”.Aku masih berusaha
biasa saja seperti Eko tak melakukan kesalahan. Aku mengamati setiap yang
dilakuan Eko di ruang tengah. Lagi dalam kondisi seperti ini kadang aku
bersyukur anakku penurut. Dia mengerti yang baik dan yang buruk tapi masih
labil. Ini pekerjaanku sebagai seorang ibu untuk meluruskan tindakan yang
salah.
Mandi, ganti baju, sholat berjalan dengan
baik. Nah, saat makan sedikit beda. Biasa makan lebih banyak sekarang nampak
lebih sedikit. Panganan yang berbau pisang biasa dia habiskan dengan cepat satu
mangkuk kali ini dia hanya habis setengah. Yang kusimpulkan sementara dia masih
takut dimarahi. Pelan – pelan dia melangkah mendekatiku..
Aku
tersenyum sambil memeluknya…”Sini nak…..”. “Hm………….kaku banget ini anak ibu
tubuhnya….yuk belajar ngaji dulu ya…. “ Eko hanya mengangguk saja. Matanya
memang hampir jebol karena tak sanggup menahan air mata. Tapi aku berusaha
tidak membicarakan itu dengannya.
Belajar
Iqra disetiap sore sambil dongeng adalah model belajar yang mulai aku biasakan.
Seperti konsepku diawal bahwa aku tidak pintar tapi anakku harus lebih pintar
dari aku. Dan aku harus mengajarkan cara belajar sebisaku sejak kecil. Belajar
lebih banyak. Itu saja rumusnya. jika di sekolah iqra sampai halaman 3 anakku
harus lebih dahulu baca di rumah jadi di sekolah tinggal mengulang saja.
A,
Ba, ta, Tsa sampai ya selesai. Akhirnya sampai juga pada waktu yang tepat
menasehati kesalahan tanpa menghakimi. Aku mulai menceritkan sebuah kisah
tentang binatang. Aku tidak pandai mendongeng tapi aku merangkai sendiri. Ku
pikir asal muatan baik…tidak apa - apa. Kebetulan Eko menyukai dongeng.Cerita
singkatnya Eko kemudian mengambil inti baik dari dongeng kemudian menimbang
baik dan buruk dari yang dia lakukan. Dan akhirnya aku menawarkan solusi kepada
Eko “ Bagaimana kalau uangnya di tabung di tiang bamboo. Jadi Eko bisa
mendapatkan yang Eko mau saat uang terkumpul. Pembelajaran yang berharga di
sini pentingnya bersabar dalam menabung kepada anak. Terbiasa meminta izin
dengan baik jika melakukan sesuatu atau hendak pergi.
Keinginanku
besar kepada anaku satu – satunya ini, dia anak perempuan. Bagaimanapun dia adalah calon ibu. Harus bisa mengatur
uang. Sejauh yang aku lakukan adalah berusaha untuk tidak memarahinya. Jika ada
masalah aku berusaha untuk mencari waktu yang tepat misalnya setelah dia makan.
Jadi sudah kenyang baru dikasih masukan. Kalau melihat TV rasanya kasihan
melihat anak – anak langsung dimarahi, padahal dia bisa jadi bingung mencari
solusinya. Bisa juga sebenarnya bukan kemauan diri sendiri.
Aku
lebih senang menasehati anak sesudah makan, kondisi perut sudah kenyang. Sehingga
tidak khawatir anak kelaparan. Maksudnya kelaparan karena tidak nafsu makan
setelah dimarahi. Dan ketika aku benar – benar sangat marah maka aku lebih
banyak diam. Tidak bersuara apalagi kekerasan fisik. Efeknya akan panjang jika
orang tua suka marah – marah saat anaknya kecil. Misalnya hari ini kita,
orangtua masih bisa melukai fisiknya (secara undang-undang sudah dilarang) tapi apakah dia tidak akan
membalas yang lebih keras dari apa yang dilakukan orang tuanya setelah dia dewasa?. Begitujuga dengan kata-
kata atau omelan. Hari ini anak diam, tak berkutik, namun apakah anak tetap
diam ketika dewasa? Bisa jadi melakukan yang lebih parah.
Aku
ingin anakku senang bersyukur
Di
tengah melambungnya harga kebutuhan pokok dan persaingan hidup yang lebih
tinggi, kadang untuk bersyukur terasa amat berat. Apalagi jika sudah berumah
tangga. Aku tak segan memangkas kebutuhan tidak penting. Supaya anak tetap
sekolah dengan baik. Saat Eko mau lulus SD. Aku sangat khawatir tidak akan
sanggup membiayai sekolahnya.
Namun
dengan tekad yang kuat Alhamdulillah tepenuhi sampai dia lulus SMP. Menjelang
masuk SMA anakku memilih sekolah favorit dan ternyata nemnya Alhamdulillah
masuk sepuluh besar paralel di SMP jadi berpeluang besar untuk bisa masuk SMA
favorit. Perjuangan panjang mengawali hari – hari Eko sekolah. Pinjam sana –
sini. Dan rencana merenovasi rumahpun sempat terhenti beberapa tahun hanya
karena satu. Anakku bisa sarjana bisa lebih pintar dari pada ibu dan ayahnya.
Malu
tetap aku rasakan bersama dengan suami. Dan aku dipercaya suami untuk mengatur
semua keuangan keluarga. Alhamdulillah suami sepakat dengan visi awal mempunyai
anak yang bisa mengangkat derajat orang tuanya. Sepanjang perjuangan aku dan
suami, kadang aku merasa tak sanggup. Bagaimana tidak hari ini makan persediaan
beras sudah habis. Dengan terpaksa demi cita – cita mempunyai anak yang
berfikir maju akhirnya suami memutuskan untuk makan nasi jangung.
Setahun
kami makan nasi jangung demi tercukupi kebutuhan hidup. Dan semua terlewati
begitu saja. Syukur Alhamdulillah masih bisa makan. Anakku juga mengikuti cara
hidup orang tuanya. Dongengku sejak kecil untukknya ternyata benar – benar
masuk di hatinya. “ Jika bersyukur pasti betambah nikmatnya, jika bersabar
pasti keinginan kita terkabul”
Aku
amati anakku rajin berpuasa senin kamis, bahkan aku sempat memberinya uang yang
jauh dibawah uang saku teman – temannya. Tetapi dia bisa
mengaturnya. Aku tanya kepadanya yang waktu itu masih SMA. Anakku jawab dia
ambil uang tabungannya. Lalu aku tanya “Kok punya uang tabungan dari mana?” Dia menjawab dari “Kelebihan uang saku yang
biasa aku berikan untuknya.” Subhaanallah Allah memberiku anak yang baik.
Sepanjang
perjalanan pendidikan anakku banyak duka yang ku alami. Mulai dari ejekan
tetangga. Semua Alhamdulillah terlewati….
Menjelang
kuliah Aku dan suami tidak punya uang sama sekali. Anakku semangat untuk
kuliah. Waktu itu anakku mengambil jalur kuliah yang di biayai negara. Dia
mengambi STAN dan ikut SMPTN. Dia sangat semangat untuk belajar. Dan aku
menyukainya. Aku merasa ditengah segala kekurangan Allah memberikan banyak
kemudahan selagi banyak berusaha.
Setiap
detik aku mohon kepada Allah diberikan yang terbaik untuk keluargaku. Tepat di
bulan Juli 2004 anakku masuk Perguruan tinggi. Aku dan suami bersyukur anak di
terima di PTN meskipun tidak di STAN seperti yang didambakan diawal. Tetapi aku
yakin Allah punya cara yang lebih hebat.
Setelah
pengumuman aku bingung harus bagaimana cari uang. Lalu dengan bimbang aku
meminta izin kepada suami untuk pergi merantau ke Jakarta. Dengan berat suamiku
mengizinkan. Izin yang kurang sempurna terlihat. Selama seminggu kami
sekeluarga menangis sedih. Tidak tahu harus kemana untuk mendapatkan uang masuk
kuliah anakku. Anakku pun menangis tanpa henti.Ibarat kata dia siap menyerah
dan tidak kuliah.
Namun
kami orang tua tak tega melihatnya. Cita – cita kami tinggal selangkah lagi. Suamiku
kadang menangis dihadapanku meminta maaf. Tapi aku selalu bilang” Kamu tidak
salah jadi tidakperlu meminta maaf”. Dan setelah itu pula air mata kami selalu
tumpah.
Menjelang
keberangkatan anakku ke Solo untuk melakukan pembayaran. Pertolongan Allah
datang. Saudara dari Ibu suamiku datang dengan menyerahkan uang pinjaman.
Sambil memberi nasehat kepada kami sekeluarga.
Tidak
hanya sampai disini setelah anakku pergi kuliah. Aku dan suami seperti orang
tidak sadar. Diam dan melamun di tempat kerja. Selama sebulan lamanya aku
bersikap seperti ini. Namun aku tersadar bahwa posisiku sebagai istri harus
menemani suami. Aku putuskan untuk tidak jadi merantau ke Jakarta.dan aku di
rumah saja membatu pekerjaan suami.
Dengan
perlahan aku memberi semangat sebagai suami untuk selalu bersyukur dengan
banyaknya harapan yang terkabul. Tinggal sebentar lagi anakku jadi sarjana.
Selama
anakku sekolah tak jarang kami tidak punya uang karena setelah ada uang langsung
kami berikan untuk pembayaran ini dan itu. Anakku Alhamdulillah tidak banyak
menuntut. Dia merasa cukup. Aku bilang padanya. “Bersyukur dan berdoa semoga
Allah memberi kemudahan.” Dan akhirnya…tahun 2008 anakku lulus sarjana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar